Bo Sangaji Kai (Naskah Kesultanan Bima)
Naskah Bo Sangaji Kai merupakan salah satu Naskah yang sudah mendapatkan Surat Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisonal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan nomor pencatatan EBT52202200111, pelapor Munawar, M.Pd
Bo’ berasal dari bahasa Belanda Boek. Kata ini selanjutnya diserap ke dalam bahasa Mbojo dan menjadi Bo’. Adapun Sangaji Kai adalah gelar tradisonal Bima untuk raja-raja mereka sebelum berubah menjadi Sultan. Dengan demikian, Bo’ Sangaji Kai berarti “buku catatan raja-raja Bima” Bo’ Sangaji Kai adalah salah satu buku terpenting dari berbagai jenis Bo’ Kerajaan Bima yang lain seperti Bo’ Bicara Kai, catatan Raja Bicara (wazir atau ketua adat) Kerajaan Bima, Bo’ Bumi Luma Rasana’e, catatan pegawai adat Kerajaan Bima, Bo Kadi, catatan tentang urusan agama, Bo’ Melayu, catatan tentang orang Melayu di Bima, dan Bo’ Dare Dura, catatan tentang keluarga bangsawan Makassar. Bo’ Sangaji Kai ditulis ketika Bima masih menjadi kerajaan dan berlaku hingga Kerajaan Bima berubah menjadi kesultanan, tentunya dengan disesuaikan dengan syariat Islam.
Bo’ Sangaji Kai aslinya ditulis di atas daun lontar dengan bahasa dan aksara kuno Bima. Naskah ini kemudian diubah ke dalam bahasa Melayu beraksara Arab atau Jawi pada masa Sultan Abil Khair Sirajudin (1645). Namun, sungguh sangat disayangkan, naskah asli Bo’Sangaji Kai dan Bo’ yang lain kini tidak ada lagi. Semua naskah Bo’ saat ini berbahasa Melayu dengan aksara Jawi. Di satu sisi, hal ini memudahkan pembaca karena bahasa Melayu lebih mudah dipahami (dengan syarat mengerti tulisan Arab) daripada bahasa Bima. Akan tetapi, dari sisi pelestarian naskah asli, hal ini tentu saja sangat menyedihkan. Bo’ Sangaji Kai secara umum memuat berbagai catatan-catatan pendek atau panjang, yaitu pemerintahan Bima, mulai dari Sultan sampai pejabat yang paling rendah, silsilah keluarga raja-raja Bima ditambah sejumlah catatan tentang hari lahir atau wafat beberapa tokoh dari keluarga bangsawan, undang-undang Kerajaan Bima ditambah dengan catatan pengadilan perkara tertentu.
Hhubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan luar dan kompeni Belanda, cerita tentang berbagai ekspedisi Bima ke Manggarai pada tiga masa yang berbeda, yaitu 1727, 1760-1784, dan 1846, antara lain untuk merebut kembali daerah taklukan yang telah dikuasai oleh Makassar, dan sejumlah besar salinan akte yang disahkan oleh Sultan atau Raja Bicara, terutama tentang penjualan tanah dan kelompok masyarakat yang dinami naskah-naskah ini tentu saja sangat penting untuk dipelajari jika ingin mengetahui seluk-beluk Kerajaan Bima pada masa lalu. Naskah-naskah ini juga menjadi bukti bahwa Kerajaan Bima adalah sebuah kerajaan besar dengan rakyat yang banyak karena sudah memiliki berbagai aturan yang ketat dan rinci. Satu hal yang sulit dibantah adalah bahwa Kerajaan Bima merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar di wilayah Indonesia Timur. Salah satu petunjuk tentang hal ini terdapat dalam kutipan teks-teks Jawa kuno, semisal Negarakertagama dan Pararaton, yang menyebutkan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi oleh kapal-kapal asing sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai menjelajah nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti
Bukti lain bahwa Kerajaan Bima pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di kawasan Indonesia timur adalah adanya undang-undang Bandar Bima. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan perdagangan yang berlangsung di Bandar Bima kala itu. Undang-undang ini begitu rinci mengatur perilaku para pedagang, utang piutang, budak-budak yang bekerja di Bandar Bima, dan berbagai masalah yang sering terjadi antarpedagang, seperti perkelahian antarpedagang. Kerajaan Bima sebagai sebuah kerajaan maritim menyadarkan kita bahwa ternyata bangsa Bima memiliki akar kebudayaan perdagangan laut yang kuat. Fakta ini menimbulkan ironi ketika dibandingkan dengan pembangunan masyarakat Indonesia timur saat ini yang masih tertinggal. Kenapa justru kantong-kantong kemiskinan itu bertebaran di belahan timur nusantara yang pernah jaya ini
Pada Naskah ini seolah-olah ingin mengingatkan kita akan ironi tersebut. Barangkali kita memang lupa bahwa Bima dahulu pernah jaya, bahkan menguasai bangsa-bangsa asing yang berniaga di sana. Tidak hanya Kerajaan Bima, beberapa kerajaan di Sulawesi seperti Gowa dan Luwu yang juga memiliki kebudayaan laut yang besar juga sangat Berjaya. Dua kerajaan ini bahkan lebih dulu maju daripada Kerajaan Bima karena budaya tulis Kerajaan Bima konon diajarkan oleh Kerajaan Gowa. Begitu juga dengan Kerajaan Sumbawa dan Dompu seperti yang diungkap secara sekilas dalam topik ini. Indonesia sebagai negara kepulauan adalah fakta sejarah dan Kerajaan Bima adalah fakta sejarah yang lain. Naskah Bo’ Sangaji Kai ini menjadi dokumen yang penting dan berharga untuk selalu mengingatkan penguasa negeri ini agar terus berusaha mengembalikan kejayaan laut Indonesia dan bukan hanya menjadi sadar hanya setelah pulau atau bagian perbatasan negeri ini diklaim oleh bangsa lain.
Bo’ sangaji ka merupakan naskah yang berisikan catatan-catatan kerajaan Bima, naskah ini merupakan arsip kerajaan Bima yang terpenting diantara berbagai jenis Bo’ yang lain. Tradisi penulisan seperti ini diwarisi Kerajaan Bima dari Sulawesi Selatan. Di daerah berbahasa Bugis dan Makassar pada masa lalu dikenal dengan tradisi Historiografi yang khas berupa lontarabilang, yaitu buku-buku catatan yang sangat terperinci yang ditulis di istana raja atau para pembesar. Bo’ sangaji kai yaitu Bo’ istana, isinya menyangkut kerajaan pada umumnya. Bo’ sangaji kai yang diedisikan dalam buku ini meliputi kurun waktu yang panjang yaitu dari abad 17sampai dengan abad 19. Bo’ sangaji kai ini dianggap paling lengkap karena mencangkup catatan mengenai raja-raja di Bima dari abad 17 sampai dengan awal abad ke-20, lain halnya dengan Bo’ lainnya yang terbatas menceritakan mengenai masa pemerintahan salah satu Sultan Raja Bima
Bo Sangaji Kai. Naskah kuno milik Kerajaan Bima, aslinya ditulis menggunakan akasara Bima naskah ini kemudian di tulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan huruf Arab Melayu Kerajaan Bima memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian, dilakukan terus-menerus selama berabad-abad,terakhir ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan “bahasa yang diridhoiAllah”Kitab ini mengisahkan kelahiran kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, berikut kisah-kisah legenda Sumbawa, susunan pemerintahan kerajaan di Sumbawa dari abad ke abad, hubungan Bima dengan raja-raja Jawa, hingga perjanjian sultan-sultan Bima dengan Belanda.
Bo Sangaji Kai menceritakan sejarah Bima dimulai pada abad ke-14, ketika Sumbawa diperintah kepala suku yang disebut Ncuhi. Wilayah Bima terbagi dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. “Terkuat dan tertua ialah Ncuhi Dara. Kini wilayahnya disebut Kampung Dara,” cerita Siti Maryam Salahuddin, keturunan Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin (1915-1951). Maryam ialah satu dari sedikit orang yang bisa membaca huruf Arab Melayu pada Bo Sangaji Kai. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud diangkat menjadi Raja Bima pertama. Ayahnya bernama Sang Bima, karena itu nama kerajaannya disebut Bima, yang dalam bahasa setempat disebut Mbojo, yang meliputi Pulau Sumbawa.
Dikisahkan, Indra. Zamrud tatkala kanak-kanak dikirim oleh ayahnya ke Pulau Sumbawa menggunakan keranjang bambu. Dia mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Kedatangannya sudah didengar Ncuhi Dara. Dia pun kemudian menyambut serta mengangkatnya menjadi anak angkat. Setelah dewasa, lima ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkat Indra Zamrud sebagai raja setempat, sedangkan para ncuhi itu sendiri menjadi menteri. Pada suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh lelaki dan sepuluh perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa daerah Sumbawa, antara lain di Dompu, Bima, dan Sumbawa. Siti Maryam mengisahkan, “Cerita ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi kemudian diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah di Bo Sangaji Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340.”
Menurut Maryam, dalam versi Arab-Melayu ada sepotong kisah yang hilang, yang tidak terdapat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai yang beraksara huruf Bima yang baru sebagian kecil sempat ia baca. Setelah cerita tentang keturunan Indra Zamrud, teks Arab-Melayu langsung masuk pada bagian tentang perubahan kerajaan menjadi kesultanan yakni saat pertama Islam masuk Bima sekitar abad ke-16. Catatan ini melahirkan banyak kisah baru, antara lain berdirinya Kampung Melayu di Kota Bima.
Kesultanan Bima mengakhiri masa pemerintahan saat Indonesia merdeka 1945. Saat itu raja-raja Sumbawa memutuskan untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sultan Muhammad Salahuddin, ayahanda Siti Maryam, merupakan sultan terakhir Bima. Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, Maryam kemudian menyerahkan bangunan kerajaan kepada Pemda dan kini dijadikan museum. Sebagian peninggalan kesultanan berupa mahkota, pedang, hingga furnitur disumbangkan; sedangkan sebagian lagi disimpan di Samparaja, museum pribadi Maryam bersaudara guna dirawat untuk melengkapi berbagai kenangan tentang ayahanda juga jejak langkah sultan-sultan Bima.
Naskah Bo Sangaji Kai adalah salah satu naskah Kuno Kasultanan Bima yang bersikan berbagai hal ihwal tetang Kerajaan Bima, salah satu kerajaan besar yang pernah berkuasa di wilayah Timur Indonesia, Bo Sangaji Kai di tulis dengan menggunakan tulisan arab melayu dan aksara Bima yang merupakan salah satu buku tepenting dari berbagai jenis Bo’ Kerajaan Bima yang lain seperti Bo’ Bicara Kai, catatan raja bicara, (wazir atau ketua adat), Bo’ Bumi Luma Rasana’e, catatan pegawai adat kerajaan Bima, Bo’ Kadi, catatan tentang urusan agama, Bo’ Melayu catatan tentang orang melayu di Bima. Bo’ Sangaji Kai ditulis ketika Bima masih menjadi kerajaan dan berlaku
hingga Kerajaan Bima berubah menjadi Sultan yang disesuaikan dengan syariat Islam.
Bo’ Sangaji Kai secara umum memuat berbagai catatan-catatan mengenai sistem pemerintahan Bima, mulai dari Sultan sampai pejabat yang paling rendah, silsilah keluarga raja-raja Bima ditambah sejumlah catatan tentang hari lahir atau wafat beberapa keluarga bangsawan, undang-undang Kerajaan Bima ditambah dengan catatan pengadilan perkara tertentu, hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan luar dan kompeni Belanda, cerita tentang berbagai ekspedisi Bima ke Manggarai serta sejumlah salinan akte yang disahkan oleh Sultan atau Raja Bicara, terutama tentang penjualan tanah dan kelompok masyarakat.
Bo’ Sangajai Kai juga memberikan petunjuk bahwa Kerajaan Bima merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar di Wilayah Indonesia Timur yang telah di singgahi oleh kapal-kapal asing sekitar abad ke-10, waktu orang Portugis mulai menjelajah nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Bukti lain bahwa Kerajaan Bima maritime terbesar di kawasan Indonesia Timur adalah adanya Undang-Undang Bandar Bima, yang mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan perdagangan yang berlangsung di Bandar Bima. Undang-Undang ini sangat rinci mengatur perilaku para pedagang, utang piutang, budak-budak yang bekerja di Bandar Bima dan berbagai masalah yang sering terjadi antar pedagang. (Munawar)